Laman

Jumat, 29 Oktober 2010

Ku Merindukan Sepasang Matamu by N. Nurul Hudaifa/XI.IA.3/30.10.10

Dwina teerlelap dalam tidurnya. Terlangkahkan kaki, terjebak menyusuri jalan yang tak berujung pasti.

“Dimana, aku sekarang? Dunia ini begitu gelap. Tak ada setitik cahaya pun tuk terangi petunjuk jalan yang tepat.”

Beribu wajah tua, lusuh nan bijak memandang mencoba mengajak. Hanya pandangan ganjil, ia lemparkan kepada mereka.

“Siapa mereka?! Mengapa hanya wajah mereka yang terlihat berbeda dari semua yang ada ?”

Dwina menyusuri jalan setapak. Sebuah gang sempit berapit dinding. Hingga ia sampai pada sebuah pintu yang lusuh.

“Sebuah pintu? Apa maksud semua ini? Apa aku harus membuka pintu dan masuk kedalamnya? Sebenarnya di negeri mana aku sekarang ini? Di jalan, di gerbong kereta, ku lihat orang-orang di sekitarku membaca! Padahal ku coba menghindar dari mereka. Hingga ku berlari dan sampai pada sebuah pintu lusuh ini!”

Kebingungan amat melanda dirinya. Tak ada kehidupan di luar sana. Hanya sebuah pintu yang ia temukan dihadapannya. Cemas dan hati berdebar menghinggapi diri. Entah apa yang akan ia temukan di balik pintu yang lusuh ini.

“Apa?! Sebenarnya di negeri manakah aku saat ini? Di luar gelap, hampir tak ada kehidupan sama sekali, tapi di sini… Aku tak dapat percaya akan semua ini.”

Dwina tak percaya dengan apa yang di lihatnya, deretan rak buku berjajar, lusuh berdebu, membentuk sebuah jalan menuju cahaya. Semua hanya diam ketika Dwina menyusuri rak tersebut satu persatu, mereka hanya diam sibuk dengan catatan dan bacaannya. Dwina mencoba berlari, pergi menjauh dari negeri ini.

“Kenapa? Kenapa wajah mereka semakin bersedih ketika ku coba menjauh dan menutup pintu ini?”

Tak pernah diduga, suara datang diantara mereka.

“Kami merindukanmu! Kami semua senang engkau bisa datang menghampiri kami! Telah lama kami tunggu seseorang datang kemari. Kami rindu ribuan pasang bola mata yang dulu sering memandang kami, kami rindu tatapan kalian. Hanya engkau harapan kami, berharap kau dapat memandang kami.”

“Aku? Tapi mengapa harus aku?”

“Karena hanya engkaulah yang ada di sini dan hanya engkaulah harapan kami.”
Tangis, keluar dari wajah mereka. Dwina tak sanggup tuk melihatnya hingga ia berlari, berlari dan terus berlari. Berlari melewati deretan rak buku yang menuntunnya tuk menghampiri secerca cahaya. Silau tak dapat terlihat apa yang ada di sekitarnya. Hingga akhirnya terbangun.

“Mungkin ini yang dirindukan mereka. Berharap banyak orang dapat menyentuh dan membaca mereka. Agar mereka tak di acuhkan, hingga berdebu.”

Lalu, Dwina menghampiri jajaran buku yang ada di kamarnya. Buku-buku yang dulu sering dibacanya, lalu membacalah dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar